Qolbu |
Sudah sekian lama umat manusia mencari makna terdalam dari hidup yang telah ia alami. Tetapi tak pernah menemukan makna hakiki yang bisa memuaskan akal serta perasaannya. Banyak diantaranya melakukan hal yang ekstrim dalam hidupnya hanya untuk mendapatkan pemaknaan baru tentang jati diri manusia. Begitu pula yang dilakukan para ilmuan akhir dekade ini. Mereka berusaha mensejajarkan antara ilmu pengetahuan modern dengan ilmu pengetahuan agama serta tradisi klasik, untuk mengungkapkan pemaknaan yang sejati atas diri manusia. Suatu hal yang tak terlihat, tetapi berperan sangat sentral dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang halus dan lembut, yang memancarkan cinta kasih, kedamaian, harmoni, pengorbanan, serta rasa syukur. Itulah sisi terkuat dalam diri manusia; Spiritualitas.
Inilah krisis pemaknaan yang terjadi pada masyarakat modern, yang sudah kehilangan identitasnya sebagai manusia. Ia kehilangan suatu hal berharga dalam hidup, yaitu Tuhan. Tuhan yang telah menciptakannya, Tuhan yang telah memberikan segala kenikmatan dalam hidupnya, Tuhan yang membuat otak (The Power of posititive Thinking) dan jantung (The Power of Positif Feeling) dapat bekerja secara harmonis, sehingga dapat memenuhi segala keinginannya untuk mencapai tujuan.
Saya teringat kata-kata Viktor Frankl salah satu pelopor pemikiran Psikologi Humanistis, bahwa pencarian kita akan makna merupakan motivasi terpenting dalam hidup kita. Pencarian inilah yang menjadikan kita mahluk spiritual dan ketika kebutuhan makna ini tidak terpenuhi, hidup kita terasa dangkal dan hampa. Bagi sebagian besar kita saat ini, kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dan krisis mendasar di zaman ini adalah krisis spiritual.
Ada hal yang cukup menarik sebagai contoh, yang sering diungkapkan Danah Zohar dalam setiap sesi pertemuannya tentang kebangkitan spiritual, suatu pemaknaan baru dalam hidup manusia untuk menelusuri krisis spiritual yang terjadi saat ini dikalangan eksekutif muda di seluruh dunia. Mengutip apa yang pernah dituturkan Danah Zohar: “Baru-baru ini, saya menerima e-mail penting dari seorang eksekutif bisnis senior di Swedia yang meminta bertemu dengan saya dalam kunjungan saya ke Stockholm nanti. Dia mengatakan bahwa dia harus membuat keputusan besar tentang arah hidup selanjutnya dan berharap kami dapat mendiskusikannya. Ketika kami bertemu, dia tampak gelisah dan tidak bersemangat serta tergesa-gesa ingin langsung membicarakan persoalannya. “Anders”, saya sebut saja demikian, mengatakan bahwa dia berusia sekitar 30-an. “Saya,” katanya, “mengelola sebuah perusahaan besar dan sukses di Swedia. Saya memiliki kesehatan yang baik, keluarga yang menyenangkan, dan kedudukan terhormat dalam masyarakat. Saya kira saya mempunyai ‘kekuasaan’. Namun, saya tetap tidak yakin mengenai apa yang saya lakukan dengan hidup ini. Saya tidak yakin bahwa saya berada pada jalan yang benar dalam melaksanakan pekerjaan saya.”Dia mengatakan lebih lanjut bahwa dirinya sangat khawatir dengan keadaan dunia, khususnya keadaan lingkungan hidup global dan kehancuran masyarakat. Dia mengatakan bahwa orang-orang menghindari skala nyata dari masalah-masalah yang mereka hadapi. Dia merasa bahwa bisnis besar seperti miliknya turut bersalah karena tidak ikut menghadapi masalah semacam itu. “Saya ingin berbuat sesuatu tentang hal ini. Saya ingin memanfaatkan hidup saya untuk melayani, namun tidak tahu caranya. Saya hanya tahu bahwa saya ingin menjadi bagian solusi. Bukan malah menjadi masalah.”
“Anders menggambarkan kegelisahannya itu sebagai “masalah spiritual” dan dia sedang melewati “Krisis spiritual”. Ini adalah krisis khas yang menimpa kebanyakan orang muda saat ini, mereka tidak tahu pasti cara menjalani hidup yang bermakna. Mereka rindu untuk menjalani kehidupan dalam konteks makna dan nilai yang lebih luas. Mereka memiliki apa yang disebut oleh Viktor Frankl sebagai kehendak terhadap makna, namun mereka merasa kehendak itu akan hancur di dunia saat ini.
Pencarian makna tampaknya sangat nyata dalam begitu banyak aspek kehidupan kita. Siapa saya? Kemana saya pergi setelah mati nanti? Apa makna dari pekerjaan saya? Apa makna perusahan yang saya bangun susah payah ini? Apa makna perusahan tempat bekerja saya? Apa makna hubungan ini? Mengapa saya belajar demi gelar ini? Apa artinya diri saya? Untuk apa saya mengumpulkan harta yang melimpah ruah ini?. Inilah krisis makna yang terjadi di dunia kita saat ini. Adapula laporan yang mengatakan bahwa di Dunia Barat, dua dari sepuluh penyebab kematian tertingginya disebabkan oleh bunuh diri dan alkoholisme. Hal ini sering dikaitkan dengan krisis makna yang terjadi pada manusia modern, terutama di Dunia Barat.
Salah satu yang diutaran Danah Zohar dalam bukunya SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, adalah kiat-kiat efektif mengembangkan kecerdasan spiritual dalam hal memaknai hidup ini. Ada berbagai teknik untuk mengungkapkan makna; tetapi ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita – menyusun kembali hidup kita yang porak-poranda.
Pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (selff discovery). Sa’di, penyair besar Iran, pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika dia sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya, dia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria. Tampak dalam perhatiannya bahwa penceramah itu patah kedua kakinya. Tiba-tiba, dia disadarkan. Segala kejengkelannya mencair. Dia sedih kehilangan sepatu padahal di sini ada orang yang tertawa ria walaupun kehilangan kedua kakinya.
Kedua, makna muncul ketika kita menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam satu keadaan; ketika kita tidak dapat memilih. Seorang pegawai Bank Swasta dipindahkan dari Jakarta ke Tangerang, Banten. Dia mendapat posisi yang sangat baik dengan gaji yang berlimpah. Akan tetapi, dia juga kehilangan waktu untuk berkencan dengan keluarga dan anak-anaknya. Hampir setiap hari ia berangkat dari rumah jam 5 pagi dan pulang kerja sampai di rumah jam 9 malam. Dia ingin mempertahankan jabatannya dan ingin mempunyai waktu lebih banyak untuk keluarga, tetapi hal itu adalah mustahil. Kerena ia harus memilih keluarga atau pekerjaannya. Pada suatu hari, dia berdiri didepan rapat pimpinan dan menyatakan mengundurkan diri. Dengan semangat yang membaja ia gantikan waktu kerja yang telah hilang itu untuk berwiraswasta, dan nyatanya berhasil. Saat itu, dia merasakan kebahagiaan menemukan kembali makna hidupnya.
Ketiga, makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain. “Aku senang bersama cucuku,” kata seorang kakek. “Cucuku suka mengatakan ‘Ikuti aku, Opa’ dan aku menuruti semua kemauannya. Tidak ada seorang pun dapat melakukan itu baginya. Ibunya juga tidak, karena terlalu sibuk. Seorang anak jalanan merasa sangat bahagia ketiga Ari Wibowo, seorang artis yang menjadi idolanya itu mendatanginya di pertigaan lampu merah dan mengajaknya makan disebuah lestoran mahal. “Bayangkan, seorang Ari Wibowo mau mengajak makan anak jalanan! Untuk mendapatkan pengalaman seperti itu, kita tidak selalu memerlukan orang seperti Ari Wibowo. Carilah orang yang mendengarkan kita dengan penuh perhatian, kita akan merasa hidup kita bermakna.
Keempat, makna membersit dalam tanggung jawab. Ini adalah kisah tentang seorang perempuan yang berlibur ke Bali tanpa suaminya. Di sana, dia berkenalan dengan seorang anak muda yang tampan. Dia jatuh pada rayuannya. Ketika sang pemuda mohon diizinkan untuk mengunjungi kamar hotelnya, perempuan itu menyetujuinya. Dia tidak pernah berselingkuh, tetapi dia sudah berpisah dengan suaminya selama dua minggu. Ada hasrat seksual bergejolak. Dia menunggu pemuda itu dengan penuh gairah. Akan tetapi, ketika pemuda itu mengetuk pintu kamarnya, perempuan itu merasa sengatan keras di jantungnya. Ketika ketukan pintunya itu makin keras, dia teringat suaminya. Dia memutuskan untuk tidak membuka pintu. “Lalu,” kata perempuan itu, “....aku mendengar langkah-langkah kakinya menjauh. Aku menengok dia lewat jendela. Ketika aku melihatnya pergi, aku mengalami perasaan bahagia yang paling intens dalam hidupku.”
Kelima, makna mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal diatas. Ketika mentransendensikan diri kita, kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita. Transendensi, kata Zohar, adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar pengalaman kita yang biasa, ke luar suka dan duka kita, ke luar diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir – ultimate meaning – yang menyadarkan kita akan aturan agung yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar, yang ditampakkan kepada kita. Inilah makna hakiki, sebagai pemaknaan yang komfrehensif terhadap segala persoalan hidup manusia. Kembali ke sumber makna itu sendiri yaitu Tuhan; yang transenden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda
Silakan tinggalkan komentar